MUSYAWARAH BUNYI UNTUK PEMUFAKATAN NADA KEBUDAYAAN SEBAGAI HALUAN DEMOKRASI
Dunia seni budaya khususnya kalangan pelaku seni, mayoritas merasa tidak familier dengan kata “Politik” malah cenderung kata tersebut berjarak cukup jauh. Seolah kata tersebut bukan bagian dari khasanah dan kamus kreatifitas mereka. Hal ini bisa dimaklumi karena stigma politik yang melekat di negara kita cenderung berkonotasi negatif. Banyak aktifitas politik yang ditampilkan melalui media ataupun dalam realitas sosial menyiratkan hanya melulu soal perebutan kekuasaan, janji-janji manis dan rayuan gombal belaka. Instrument pendukungnya-pun seperti partai politik, Lembaga hukum serta perangkat nya ikut terseret dengan arus dan situasi yang biasanya kontraproduktif.
Kesenian hanya dilibatkan pada saat seremonial, kampanye dan penggalangan masa saja. Pelibatan dan aktualisasi seni budaya bukan menjadi bagian utuh dari proses politik yang mendorong suatu proses demokrasi. Disitulah judul pada kalimat baris kedua “Kebudayaan Sebagai Haluan Demokrasi” menjadi pertanyaan yang serius dan perlu diurai lebih dalam.
Pada hari Selasa, 7 Mei 2024, di Hotel Abadi, Kota Yogyakarta, telah sukses diselenggarakan acara Pendidikan Politik Bagi Tokoh Masyarakat.
Dengan tema 'Musyawarah Bunyi untuk Pemufakatan Nada: Kebudayaan Sebagai Haluan Demokrasi Kita', acara ini dihadiri oleh lebih dari 75 orang.
Dalam sambutannya Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta, Nindyo Dewanto, SH., M.Hum menyampaikan melalui kegiatan Pendidikan Politik ini, kami berharap dapat meningkatkan kesadaran politik dan memperkuat fondasi demokrasi kita. Dengan tema "Musyawarah Bunyi untuk Permufakatan Nada: Kebudayaan Sebagai Fondasi Demokrasi Kita", kami mengundang para tokoh masyarakat seniman untuk turut serta dalam upaya membangun komunitas politik yang sehat dan berdaya.
Erik Hadi Saputra (Motivator dari Universitas Amikom Kota Yogyakarta) dalam sesinya menyebutkan bahwa motivasi memiliki dua sisi, yaitu negatif dan positif. Apabila seseorang memiliki energi negatif, setinggi tingginya hasil dari pendekatan sisi negatif akan menghasilkan sesuatu yang netral atau hasilnya 0. Namun apabila seseorang memiliki energi yang positif, pendekatan tersebut akan memiliki hasil yang tentunya tidak akan putus sehingga dalam perihal motivasi, seseorang perlu untuk mengubah pendekatan dari negatif menjadi pendekatan yang positif. Dalam hal ini dengan harapan bahwa kegiatan hari ini dapat memberikan energi yang positif.
Pemaparan Materi berikutnya dari Nanang Rakhmad Hidayat/Nanang Garuda, Seniman dan akademisi dari ISI Yogyakarta. Dalam penyampaian materinya beliau menyampaikan bahwa dalam konteks kegiatan ini, nantinya akan dilakukan peracikan bunyi, suara, gerak, dan rupa yang akan menjadi fokus pada kegiatan di pagi hari ini. Bahwasannya musyawarah bunyi akan menjadi sebuah simulasi yang mengajak para peserta untuk belajar kembali mengenai teposliro, toleransi, komitmen, dan konsekuensi. Hal ini nantinya akan diumpamakan melalui setiap unsur bunyi yang dihasilkan oleh masing masing instrumen sebagai pengganti kata dan kalimat yang kemudian akan digunakan sebagai amunisi diskusi maupun musyawarah.
Melalui hal tersebut, diharapkan bahwa nantinya akan tercipta sebuah pemufakatan nada sebagai pemantik gerak tubuh para penari, sapuan kuas para perupa, dan untaian bait para penyair dalam perayaan sebuah pesta kemajemukan.
Diskusi dan simulasi musyawarah bunyi menjadi sorotan utama, dengan harapan meningkatkan kesadaran politik dan memperkuat fondasi demokrasi. Terima kasih kepada semua narasumber, peserta, dan panitia yang telah membuat acara ini berjalan dengan lancar dan memberikan kontribusi berharga bagi kemajuan Kota Yogyakarta.